Pemerintah dan DPR RI diminta untuk tidak membuat keputusan mengurangi kuota elpiji subsidi pada tahun 2018 dan 2019. Pasalnya, hal ini bisa berdampak pada timbulnya masalah kelangkaan karena bisa ditunggangi dan dijadikan isu politik untuk menghantam pemerintah dan parpol pendukung Pemerintah.
Menurut pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria, tahun 2018 dan 2019 adalah tahun Politik dimana Pilkada serentak dan Pemilu serta Pilpres terjadi. “Tahun itu adalah tahun rawan gejolak sosial politik sehingga isu apapun bisa jadi persoalan besar bagi negeri ini,” ujar Sofyano kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, sekecil apapun kasus kelangkaan yang terjadi pada tahun 2018 dan 2019 ini bisa dipolitisir oleh siapa saja yang pada akhirnya bisa membuat suasana panas di tahun Pilkada dan Pemilu Pilpres menjadi tambah panas.
“Pada tahun 2018 dan 2019, Pemerintah dan DPR pun sebaiknya tidak mengeluarkan wacana atau perencanaan terkait distribusi elpiji misalnya dengan program distribusi tertutup dan semacamnya. Karena ini pun bisa diartikan lain oleh masyarakat yang pada akhirnya bisa menjadi pemicu adanya kepanikan pada masyarakat yang berpengaruh terhadap suasana politik,” paparnya.
Menurut Sofyano yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (puskepi) ini, keputusan Pemerintah yang tidak akan mengoreksi harga elpiji di tahun 2018 dan 2019 merupakan keputusan yang pantas, dan ini harusnya diikuti dengan kebijakan yang tidak mengotak atik turun kuota elpiji yang sudah ada. “Pemerintah harusnya menyesuaikan besaran kuota elpiji sesuai dengan tingkat pertumbuhan penduduk maupun pertumbuhan ekonomi. Ini paling tepat dan bisa diterima semua kalangan,” tukasnya.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri ESDM juga jangan sampai memaksa BUMN Pertamina untuk melakukan pengendalian pasokan elpiji karena dikhawatirkan akan berbuntut pada timbulnya kepanikan yang justru malah membuat masyarakat menimbun elpiji subsidi dan ini bisa menjadi masalah besar.
“Agar elpiji 3 kg tidak diselewengkan oleh pihak pemain maka seharusnya pihak penegak hukum bisa melakukan pengawasan melalui gerakan senyap yang tidak menimbulkan keriuhan di masyarakat,” tutup Sofyano.(ESZ)
No comments:
Post a Comment